Perkotaan di Asia
Tenggara secara keseluruhan proses urbanismenya termasuk lambat dan tingkatnya
lebih rendah dari kawasan lain. Sebagian besar negara di Asia Tenggara, angkatan
kerja masih bergerak di produksi pertanian,sebagian masyarakatnya masih
berwawasan desa yang masih menganggap hal istimewa apabila tinggal di kota.
Kawasan yang terdapat
kota-kota besar yang kontras dengan kesan sebagai masyarakat Asia Tenggara yang
multietnik memberi kesan bahwa kota-kota besar ini asing bagi masyarakat asli
Asia Tenggara serta fakta bahwa semua kota besar kecuali Bangkok belum terlalu
lama didirikan oleh penguasa kolonial sebagai pusat pemerintahan dan
pengeksplotasian.
Rendahnya tingkat
urbanisasi keseluruhan,terkonsentrasinya penduduk di satu kota utama yang
memiliki karakter heterogen,metropolitan,dan internasional bukanlah karakter
kota utama nasional, akan tetapi semua itu memperkuat kesan urbanisasi asing
terhadap budaya dan masyarakat Asia Tenggara.
Kota-kota Asia
tenggara adalah mosaik dunia kultural dan rasial yang masing-masing
mengingatkan orang kepada kenangan tentang negri dari masyarakat lain (Mc Gee
1967:24f) serta gambaran Ginsburg sebagai “sangat asing bagi lanskap Asia
Tenggara” (Ginsburg 1976:3).
‘Mata rantai utama
atau benteng terdepan” kekuasaan kolonial merupakan maksud dari pendirian dan
pembangunan kota-kota besar yang lebih berkarakter multietnik dan metropolitan
daripada karakter nasional, dengan hubungan
antar kota dan desa yang lebih bersifat komersial ketimbang kultural (Ginsburg
1976:3ff).
Kota-kota utama
(primate city) masih muda (jarang lebih dari 200 tahun) kecuali Bangkok
didirikan oleh penguasa kolonial. Ciri Primate cities atau kota utama dimiliki
oleh semua kota besar di Asia Tenggara yang sangat menonjol dan kota terbesar
di suatu negara Asia Tenggara merupakan ibukota negara tersebut.
Ciri-ciri
kota utama (primate cities) adalah sebagai berikut :
1. Kota terbesar pada suatu negara
merupakan ibukota negara tersebut
2.
Memiliki
jumlah penduduk terbanyak
3.
Memiliki
pelabuhan terbesar
4.
Memiliki
kantor pusat bisnis dan pemerintahan
5.
Sebagai
pusat kebudayaan dan sosial
6.
Sebagai
lokasi utama bagi produksi industri
Akibat dari urbanisasi yang cepat dan terpusat hanya
di satu kota utama menimbulkan beberapa masalah seperti berikut :
1.
Kemacetan
2.
Polusi
3.
Daerah
kumuh
Penghambat
pertumbuhan di kota-kota yang lebih kecil, dan bahwa kota-kota besar akan
berekspansi lebih cepat daripada kota-kota kecil dikarenakan dominasi
berlebihan terhadap kota utama.
Kota-kota
kecil yang sebagian masyarakatnya masih terdiri dari orang desa dan rakyat
jelata telah pelan-pelan menerapkan industrialisasi dan kota-kota besar terus
memonopoli jasa-jasa sehingga tidak banyak jenis layanan yang harus dilakukan
oleh kota-kota kecil.
Meskipun
masyarakat yang terus berubah, fungsi-fungsi yang baru dan semakin kompleks
cenderung tetap berada di tangan lembaga-lembaga mapan yang ada di kota-kota
utama (Ginsburg 1976:3). Dualisme antara lembaga-lembaga moderen yang
kebarat-baratan dan gaya hidup desa tampaknya masih terjadi di kota-kota utama.
Dalam
hal ekonomi, bazaar merupakan bentuk “involusi kota” serta koeksistensi ekonomi
modern berbentuk perusahaan dan ekonomi (Armstrong dan Mc Gee 1980). Daerah
kumuh di kota-kota utama adalah kelanjutan dari budaya desa di perkotaan atau
sebagai mata rantai antara budaya rakyat desa dan budaya rakyat kota (Laquian
1972).
Westernisasi
dan kolonialisme mengakibatkan urbanisme menjadi sesuatu yang asing. Hal ini
bertentangan dengan fakta bahwa kota-kota sudah ada di Asia Tenggara sejak 2000
tahun lampau, dan beberapa di antaranya sudah ada yang cukup besar, bahkan
lebih besar dari kota-kota di Eropa pada masa itu (Wheatley 1983).
Tradisi
urbanisme di Asia Tenggara tidak mengarah ke pembentukan kota-kota borjuis yang
independen yakni terkait erat dengan pembentukan negara dan sistem dominasi.
Dari pengertian tersebut, kolonialisme adalah kelanjutan dari tradisi urban
yang sudah ada dan sekaligus sebagai sebuah peralihan elit dari orang pribumi
ke orang asing.
Wertheim (1980) membagi dua pola
utama pembentukan negara yaitu negara pedalaman dan negara pesisir.
Bentuk-bentuk urbanisasi berkaitan erat dengan pola-pola pembentukan negara
ini.
1. Negara sebagai pusat pengendalian
teritorial dalam konteks negara pedalaman.
Ibukota negara adalah pusat yang
dikelilingi oleh ibukota-ibukota propinsi sebagai tempat persinggahan para
pejabat pusat. Posisi para elite ditentukan dan dilegitimasikan oleh suatu
kosmologi yang mengartikulasikan dunia sekular dan dunia saklar. Artikulasi ini
sangat penting karena lembaga keagamaan adalah salah satu basis pengendalian
teritorial dan pemerintahan.
2.
Kota
sebagai pusat jaringan perdagangan.
Kota berperan sebagai kota dagang
yang independen atau kota entrepot
(merupakan titik simpul jalur perdagangan). Dalam pola ini, fungsi utama kota
adalah mengendalikan perdagangan melalui kontrol terhadap simpul-simpul jalur
perdagangan.
Kedua pola di atas saling
berhubungan satu sama lain dan mempunyai kelemahan masing—barang masing.
Barang-barang yang diperdagangkan atau dikonsumsi di kota-kota dagang dipasok
dari negara-negara teritorial, dan sebaliknya para elite di negara-negara
teritorial juga membutuhkan barang-barang mewah untuk memperlihatkan status mereka.
Sumber daya yang
dimiliki kota provinsi memungkinkannya untuk menikmati kebebasan yang lebih
besar terhadap pusat. Jika kota provinsi menjadi bagian dari sistem jaringan
perdagangan dan wilayah pusat tidak, akan tetapi biasanya menimbulkan konflik
dengan pusat.
Pada pola
pengendalian territorial, fokusnya pada penyatuan atau integrasi semua provinsi
ke dalam satu framework (bingkai
kerja) yang didominasi oleh elit pusat. Sebab, perdagangan dapat melahirkan
pusat-pusat perniagaan dan kelompok-kelompok pedagang yang independen terhadap
negara dan terhadap penguasa.
Kelahiran kota-kota
berkaitan erat dengan proses pembentukan negara, yang dipicu oleh semakin
luasnya (difusi) pengaruh Cina dan India
yang disebut proses Indianisasi.
Konsep pemerintahan
dan konsep pengelolaan teritorial, dan cara membangun kota mengadopsi India.
Konsep-konsep yang diambil disesuaikan sedemikian rupa jadi tidak diterapkan
begitu saja. Jadi, kebangkitan dan kelangsungan hidup kota-kota bukan
semata-mata karena pengaruh masuknya kelompok-kelompok asing.
Sebelum adanya proses
Indianisasi di Asia Tenggara sudah ada potensi pembentukan negara dan urbanisasi.
Indianisasi hanya dapat diterapkan kepada kondisi material yang sudah ada
dengan hanya memberikan konsep-konsep dan gagasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar