Kamis, 09 Agustus 2012

URBANISME DI ASIA TENGGARA (Hans-Dieter Evers dan Rudger Korff)


 
Perkotaan di Asia Tenggara secara keseluruhan proses urbanismenya termasuk lambat dan tingkatnya lebih rendah dari kawasan lain. Sebagian besar negara di Asia Tenggara, angkatan kerja masih bergerak di produksi pertanian,sebagian masyarakatnya masih berwawasan desa yang masih menganggap hal istimewa apabila tinggal di kota.
Kawasan yang terdapat kota-kota besar yang kontras dengan kesan sebagai masyarakat Asia Tenggara yang multietnik memberi kesan bahwa kota-kota besar ini asing bagi masyarakat asli Asia Tenggara serta fakta bahwa semua kota besar kecuali Bangkok belum terlalu lama didirikan oleh penguasa kolonial sebagai pusat pemerintahan dan pengeksplotasian.
Rendahnya tingkat urbanisasi keseluruhan,terkonsentrasinya penduduk di satu kota utama yang memiliki karakter heterogen,metropolitan,dan internasional bukanlah karakter kota utama nasional, akan tetapi semua itu memperkuat kesan urbanisasi asing terhadap budaya dan masyarakat Asia Tenggara.
Kota-kota Asia tenggara adalah mosaik dunia kultural dan rasial yang masing-masing mengingatkan orang kepada kenangan tentang negri dari masyarakat lain (Mc Gee 1967:24f) serta gambaran Ginsburg sebagai “sangat asing bagi lanskap Asia Tenggara” (Ginsburg 1976:3).
‘Mata rantai utama atau benteng terdepan” kekuasaan kolonial merupakan maksud dari pendirian dan pembangunan kota-kota besar yang lebih berkarakter multietnik dan metropolitan daripada  karakter nasional, dengan hubungan antar kota dan desa yang lebih bersifat komersial ketimbang kultural (Ginsburg 1976:3ff).
Kota-kota utama (primate city) masih muda (jarang lebih dari 200 tahun) kecuali Bangkok didirikan oleh penguasa kolonial. Ciri Primate cities atau kota utama dimiliki oleh semua kota besar di Asia Tenggara yang sangat menonjol dan kota terbesar di suatu negara Asia Tenggara merupakan ibukota negara tersebut.
Ciri-ciri kota utama (primate cities) adalah sebagai berikut :
1.      Kota terbesar pada suatu negara merupakan ibukota negara tersebut
2.      Memiliki jumlah penduduk terbanyak
3.      Memiliki pelabuhan terbesar
4.      Memiliki kantor pusat bisnis dan pemerintahan
5.      Sebagai pusat kebudayaan dan sosial
6.      Sebagai lokasi utama bagi produksi industri

Akibat dari urbanisasi yang cepat dan terpusat hanya di satu kota utama menimbulkan beberapa masalah seperti berikut :
1.      Kemacetan
2.      Polusi
3.      Daerah kumuh
            Penghambat pertumbuhan di kota-kota yang lebih kecil, dan bahwa kota-kota besar akan berekspansi lebih cepat daripada kota-kota kecil dikarenakan dominasi berlebihan terhadap kota utama.
            Kota-kota kecil yang sebagian masyarakatnya masih terdiri dari orang desa dan rakyat jelata telah pelan-pelan menerapkan industrialisasi dan kota-kota besar terus memonopoli jasa-jasa sehingga tidak banyak jenis layanan yang harus dilakukan oleh kota-kota kecil.
            Meskipun masyarakat yang terus berubah, fungsi-fungsi yang baru dan semakin kompleks cenderung tetap berada di tangan lembaga-lembaga mapan yang ada di kota-kota utama (Ginsburg 1976:3). Dualisme antara lembaga-lembaga moderen yang kebarat-baratan dan gaya hidup desa tampaknya masih terjadi di kota-kota utama.
            Dalam hal ekonomi, bazaar merupakan bentuk “involusi kota” serta koeksistensi ekonomi modern berbentuk perusahaan dan ekonomi (Armstrong dan Mc Gee 1980). Daerah kumuh di kota-kota utama adalah kelanjutan dari budaya desa di perkotaan atau sebagai mata rantai antara budaya rakyat desa dan budaya rakyat kota (Laquian 1972).
            Westernisasi dan kolonialisme mengakibatkan urbanisme menjadi sesuatu yang asing. Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa kota-kota sudah ada di Asia Tenggara sejak 2000 tahun lampau, dan beberapa di antaranya sudah ada yang cukup besar, bahkan lebih besar dari kota-kota di Eropa pada masa itu (Wheatley 1983).
            Tradisi urbanisme di Asia Tenggara tidak mengarah ke pembentukan kota-kota borjuis yang independen yakni terkait erat dengan pembentukan negara dan sistem dominasi. Dari pengertian tersebut, kolonialisme adalah kelanjutan dari tradisi urban yang sudah ada dan sekaligus sebagai sebuah peralihan elit dari orang pribumi ke orang asing.
            Wertheim (1980) membagi dua pola utama pembentukan negara yaitu negara pedalaman dan negara pesisir. Bentuk-bentuk urbanisasi berkaitan erat dengan pola-pola pembentukan negara ini.
1.      Negara sebagai pusat pengendalian teritorial dalam konteks negara pedalaman.
Ibukota negara adalah pusat yang dikelilingi oleh ibukota-ibukota propinsi sebagai tempat persinggahan para pejabat pusat. Posisi para elite ditentukan dan dilegitimasikan oleh suatu kosmologi yang mengartikulasikan dunia sekular dan dunia saklar. Artikulasi ini sangat penting karena lembaga keagamaan adalah salah satu basis pengendalian teritorial dan pemerintahan.
2.      Kota sebagai pusat jaringan perdagangan.
Kota berperan sebagai kota dagang yang independen atau kota entrepot (merupakan titik simpul jalur perdagangan). Dalam pola ini, fungsi utama kota adalah mengendalikan perdagangan melalui kontrol terhadap simpul-simpul jalur perdagangan.

Kedua pola di atas saling berhubungan satu sama lain dan mempunyai kelemahan masing—barang masing. Barang-barang yang diperdagangkan atau dikonsumsi di kota-kota dagang dipasok dari negara-negara teritorial, dan sebaliknya para elite di negara-negara teritorial juga membutuhkan barang-barang mewah untuk memperlihatkan status mereka.
Sumber daya yang dimiliki kota provinsi memungkinkannya untuk menikmati kebebasan yang lebih besar terhadap pusat. Jika kota provinsi menjadi bagian dari sistem jaringan perdagangan dan wilayah pusat tidak, akan tetapi biasanya menimbulkan konflik dengan pusat.
Pada pola pengendalian territorial, fokusnya pada penyatuan atau integrasi semua provinsi ke dalam satu framework (bingkai kerja) yang didominasi oleh elit pusat. Sebab, perdagangan dapat melahirkan pusat-pusat perniagaan dan kelompok-kelompok pedagang yang independen terhadap negara dan terhadap penguasa.
Kelahiran kota-kota berkaitan erat dengan proses pembentukan negara, yang dipicu oleh semakin luasnya (difusi)  pengaruh Cina dan India yang disebut proses Indianisasi.
Konsep pemerintahan dan konsep pengelolaan teritorial, dan cara membangun kota mengadopsi India. Konsep-konsep yang diambil disesuaikan sedemikian rupa jadi tidak diterapkan begitu saja. Jadi, kebangkitan dan kelangsungan hidup kota-kota bukan semata-mata karena pengaruh masuknya kelompok-kelompok asing.
Sebelum adanya proses Indianisasi di Asia Tenggara sudah ada potensi pembentukan negara dan urbanisasi. Indianisasi hanya dapat diterapkan kepada kondisi material yang sudah ada dengan hanya memberikan konsep-konsep dan gagasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar