Belajar pada Tokoh Bersejarah


Judul : Tokoh + Pokok

Penulis : Goenawan Mohamad

Penerbit : TEMPO & PT Grafiti, 2011

Tebal : ix + 76 halaman

SEBANYAK 12 judul buku Goenawan Mohamad diterbitkan tahun lalu untuk memperingati hari kelahirannya. Salah satunya adalah buku Tokoh + Pokok yang diambil dari beberapa esai Goenawan dalam majalah Tempo.

Bagi saya, Goenawan tidak berhenti hanya sebagai esais, penyair ataupun pimpinan majalah Tempo yang biasa disebut dengan "budayawan". Tapi, ia juga seorang filsuf yang selalu mempertanyakan ide-ide dasar, tentang kebenaran dan makna, antara ada dan tiada.

Sekalipun tulisan ini sebuah esai, pertanyaan-pertanyaan menggelitik dan kritis tidak pernah absen mewarnai, membuat saya semakin yakin bahwa Goenawan adalah seorang filsuf. Dalam tulisannya tentang Kartini, Goenawan mengatakan, "bukan karena gagasan feminisme maka Kartini ada, tetapi karena Kartini ada, maka ia seorang feminis". Ia juga mencoba bertanya "bagaimana Kartini ada" (hlm. 2).

Sama juga esainya tentang Bung Hatta, ia mengkritik idealisme Hatta yang mengaku sebagai nasionalis dan sosialis. Hatta memang sering membaca sosialisasi Marx, walaupun dirinya juga masih terikat pada daerah dan tempat dilahirkan (hlm. 13-15). Melangkah pada tulisan yang lain, juga terlihat daya kritis dan fundamental. Bukankah hal itu lebih tampak sebagai filsuf?

Namun, yang jelas Goenawan tidak bermaksud mempromosikan dirinya sebagai filsuf, esais, dan penyair yang berpengaruh. Lewat esai-esainya ia mengarungi dunia, baik mengenai kemanusian, kebenaran, gender dan yang lain. Layaknya beberapa tokoh yang dibahas dalam tulisan ini.

Goenawan lebih banyak mengkaji pemikiran para tokoh bersejarah tersebut dari pada menyajikan riwayat hidupnya. Ia mengenalkan idealisme tokoh-tokoh tersebut kapada pembaca dengan pertanyaan "bagaimana dan mengapa" bukan pertanyaan "siapa" yang konotasinya lebih pada biografi singkat. Di sini, apa yang dilakukan Goenawan adalah mengajak pembaca pada wilayah kritis dan dinamis dalam menanggapi segala sesuatu termasuk mengkritisi pemikiran-pemikiran tokoh tersebut.

Tujuan lain yang diselipkan Gonawan setidaknya dapat memotivasi manusia untuk menciptakan gerakan revolusioner. Baik bagi dirinya, masyarakat atau bagi Indonesia secara umum sehingga kita pun terkenang sejarah seperti halnya mereka.

Bagi Goenawan, tanpa menafikan perjuangan mereka dalam membentuk Indonesia merdeka. Sejarah dan perjuangan para tokoh merupakan sebuah dialektika yang saling memengaruhi. Dia mengatakan bukan hanya karena mereka sejarah ada, melainkan karena sejarah, ada mereka. Mereka dibesarkan sejarah, begitu juga mereka membesarkan sejarah. Karena sejarah membuktikan keberadaan mereka, sampai detik ini tetap terkenang, karena mereka menorehkan sejarah, sejarah pun berlanjut.

Daya tarik buku ini karena Goenawan membeberkan segala bentuk pemikiran tokoh-tokoh bersejarah tanpa menutup-nutupi ataupun memolesnya agar terlihat indah dan baik. Esai ini secara tidak langsung membawa spirit perjuangan 1945. Lebih dari itu, esai-esai ini menggagas dialektika Marx dan nilai-nilai filsuf eksistensialis. Layaknya Sartre, Kierkegaard, dan Nietczhe.

Secara tidak langsung, Goenawan bukan hanya menorehkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme tokoh-tokoh revolusioner. Yang karena dia, seorang Kartini, Soekarno, Hatta, Gus Dur, Rendra dan yang lainnya, masih ada dalam sejarah manusia. Begitu juga dengan Goenawan, ia akan terkenanag sampai tak ada (lagi) manusia. Karena Goenawan memperkenalkan mereka pada dunia.

Sayang, buku ini sangat tipis dan mahal sehingga sangat sulit dikonsumsi oleh kaum akademika, apalagi kaum awam. Namun, itu bukanlah kekurangan yang secara praktis mengurangi substansi buku ini. Tipis, mahal, dan sedikitnya halaman hanyalah bagian kecil dari ilmu yang disuguhkan pada kita. Buku Tokoh + Pokok ini cocok dibaca oleh siapa saja, terutama bagi generasi muda, dan yang kering akan nilai-nilai kemanusian. Membaca buku ini, sepertinya kita membuka pintu sejarah masa depan. n

Muhammad Rasyidi, Penggiat di Kajian Lingkrang Metalogi, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta


Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Januari 2012