Sejak
berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 berlanjut kepada Perang Dingin
antara negara-negara Kapitalis dibawah Amerika Serikat terhadap negara-negara
Komunis-Sosialis dibawah Uni Soviet. Namun diluar dari negara-negara tersebut
terjadi konflik akibat pengaruh Perang Dingin tersebut yang kemudian menjadi
mulai memanas antara lain seperti yang terjadi di Vietnam maupun Korea.
Di
Indonesia sendiri atas kecenderungan haluan kirinya dikhawatirkan oleh Amerika
dengan semakin terancamnya atas kepentingan-kepentingan kubu-kubu Kapitalis.
Amerika sangat bersemangat untuk melawan pengaruh Komunis yang berkembang di
Indonesia dan berusaha dengan berbagai cara misalnya mulai mendidik perwira
militer Indonesia lewat undangan untuk datang ke Amerika dengan tujuan
bersekolah militer.
Upaya-upaya
Amerika terus dilakukan agar Indonesia membelokan orientasi yang condong ke
kiri berubah kearah pro-barat serta sesuai keinginan dan
kepentingan-kepentingan yang diharapkan kubu-kubu Kapitalis. Dan ditahun 1966
menjadi sejarah dinamika perpolitikan Indonesia serta proses yang dialami dalam
menentukan arah atas bentuk implikasi dari latar belakang pengaruh-pengaruh
dari Perang Dingin.
Di
Istana Bogor pada bulan Januari tahun 1966, banyak mahasiswa berdatangan baik
dari Jakarta maupun Bandung untuk berdemonstrasi melawan pemerintahan Soekarno
secara keras guna menekan Soekarno. Perlawanan terhadap pasukan Cakrabirawa
pada waktu itu bahkan berani dilakukan mahasiswa dan bentrok fisik nyaris terjadi. Sementara
itu rapat kabinet yang dipimpin presiden Soekarno sedang berlangsung di Istana,
tuduhan keterlibatan Bung Karno dalam “Gestapu” yang tertulis dipamflet yang
dibawa oleh mahasiswa untuk berdemo membuat Bung Karno geram dan tuduhan
tersebut ditolak oleh Bung Karno. Para demonstran mengepung Istana yang pada waktu itu sedang
berlangsung rapat kabinet, demonstrasi berlangsung dengan melibatkan 3 pihak
tentara, mahasiswa anti-komunis dan mahasiswa pro-komunis dengan masing-masing
memiliki berbeda-beda agenda yang ingin disuarakan. Disatu pihak menjanjikan
suatu solusi politik dengan menunggu waktu untuk diumumkan dan disisi lain
menginginkan pembubaran PKI secara resmi.
Mahasiswa
kembali turun ke jalan menyerukan dengan lantang Tiga Tuntutan Rakyat atau yang
lebih dikenal dengan “Tritura” yang isinya antara lain: Bubarkan PKI, retool
Kabinet Dwikora, dan turunkan harga. Tuntutan tersebut terkait solusi politik
yang dijanjikan Soekarno belum kunjung datang dan direalisasikan. Demonstrasi
tersebut lanjutan demonstrasi sebelumnya dan terjadi di bulan Februari tahun
1966. Kemudian tuntutan mahasiswa ditanggapi Bung Karno dengan dilakukannya
reshuffle Kabinet Dwikora menjadi Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Namun
Kabinet tersebut dianggap mahasiswa dan tentara sebagai Kabinet Gestapu dengan
masih mempertahankan orang-orang yang berhaluan kiri seperti Omar Dhani dan
Soebandrio dimana keduannya dicurigai ikut terlibat dalam insiden berdarah
peristiwa Gerakan 30 September. Perubahan juga terjadi atas pergantian Menteri Pertahanan
dan Keamanan dari sebelumnya Nasution kepada Letnan Jenderal Sarbini serta
ditetapkan Menteri/Panglima Angkatan Darat dan Kepala Staff Komando Tertinggi
kepada Soeharto yang sebelumnya 1 Februari naik pangkat dari Mayor Jenderal
menjadi Letnan Jenderal. Tanggal 24 Februari terjadi demonstrasi besar antara
mahasiswa dan pasukan pengawal Istana Cakrabirawa terkait pelantikan Kabinet
tersebut dan berujung pada bentrokan.
Situasi
Indonesia saat itu dalam administrasi pemerintahan mengalami situasi lumpuh
total dampak dari percobaan Kudeta 1 oktober 1965. Disaat Desember 1949
Indonesia memperoleh kemerdekaan, atas kedekatan dengan Soekarno disamping
organisasi yang bagus dan kerja keras mendorong Soekarno dalam mendukung tumbuh
berkembangnya Partai Komunis Indonesia dari semula partai kecil menjadi
organisasi sipil terkuat di Indonesia. Antara tahun 1957 dan 1960 PKI
menjalankan rezim otoriter atas eksploitasi militer yang dilakukan Soekarno
agar militer menggunakan PKI dan membantunya. Sehingga saat itu Soekarno mampu
mempermainkan keseimbangan diantara PKI dan militer demi mempertahankan
kekuasaan di tahun-tahun tersebut.
Soekarno
tidak melihat PKI sebagai ancaman kekuasaan melainkan dukungan. Namun justru
pimpinan militer yang dicurigai hingga peranan politik militer dikurangi serta
berada dibawah kontrolnya Soekarno pada dua tahun terakhir. Dilain sisi PKI
dipandang militer ialah suatu ancaman peran politik, suatu buruknya ideologi
serta dipandang asing cara hidupnya.
Kekhawatiran
sejumlah kalangan berkembangnya PKI didalam negeri dikarenakan bangkitnya
partai tersebut awal tahun 1950an yang sebelumnya pernah ditumpas dikarenakan usaha
penggulingan pemerintahan pada peristiwa madiun 1948 PKI memberontak saat
Indonesia masih muda namun dapat membangun kembali partai dengan lebih dinamis.
Ranking ke 4 diduduki PKI pada Pemilu 1955 menjadi partai terbesar pemenang
Pemilu dan didalam negeri banyak kalangan yang anti menjadi waspada atas hasil
perolehan kemenangan tersebut.
Banyak
keinginan untuk menyingkirkan pengaruh PKI dengan bertahap dinegeri ini
ditambah kekhawatiran semakin dekat Bung Karno dengan PKI atas konsep Nasakom
Bung Karno untuk menggiring masyarakat ke haluan kiri seperti yang diinginkan
PKI dengan tunduk kepada RRC sebagai bentuk kepentingan Komunis Internasional.
Soekarno
yang mulai ke haluan kiri selalu menghalangi militer dalam menindas komunis dan
militer berharap suatu saat memiliki alas an untuk melakukan serangan disaat
nanti tindakan kekerasan yang dilakukan PKI kembali terjadi. Dalam hal ini setengah
hatinya militer mengikuti Soekarno yang cenderung ke kiri. Dan kesempatan
terjadi saat terjadi Gerakan 30 September yang diduga otak pelakunya PKI dengan
menewaskan enam Jenderal tertinggi dan disebut suatu percobaan kudeta yang
dipropagandakan bahwa PKI berusaha untuk merebut pemerintahan. Kemudian atas
hal tersebut PKI sebagai organisasi terbuka yang efektif dihancurkan ditumpas
dengan kejam oleh militer.
Dinamika
politik yang semakin cepat menjadi katasilator atas implikasi peristiwa
berdarah Gerakan 30 September dengan ditudingnya pihak yang bertanggung jawab
atas insiden tersebut adalah PKI yang dinyatakan oleh Angkatan Darat dan
diperkuat media massa yang mendukung berkampanye atas tuduhan tersebut. Tiga
bulan antara Oktober, November dan Desember terjadi pembantaian massal sekitar
setengah juta manusia yang terjadi
antara lain di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali atas affiliasi kekuatan
sipil dan militer. Sipil dan militer beraffiliasi dengan kekuatan itu dihabisi,
dibantai banyaknya jumlah manusia dari Oktober hingga Desember dan selanjutnya
tanpa adanya proses peradilan sehingga jauh dari prinsip kemanusiaan yang adil
dan beradab atas hilangnya jejak kemanusiaan dengan tidak ditemukannya atas
pembantaian massal tersebut namun sebaliknya tanggal 13 Februari 1966 sampai
tahun 1978 sekitar 900 orang diadili oleh Mahkamah Militer Luar biasa
(Mahmilub) atas tuduhan keterlibatan Gerakan 30 September.
PROSES GARUDA BERTAHAP BERALIH KE KANAN
Pasca
kudeta dengan dihancurkan PKI, militer mengatur kembali arah kebijakan dalam
maupun luar negeri Indonesia dan tidak berkeinginan dalam peralihan
pemerintahan tetapi militer berkeinginan memainkan peran penting dalam politik
yang dibawah Soeharto dan Nasution. Soekarno menjadi Kepala Negara simbolik yang
dipertahankan paling tidak oleh pemimpin militer disaat dukungan serta
kesetiaan massa yang kuat terhadap Soekarno, militer berharap lambang
kemerdekaan tetaplah Bung Karno karena apabila terang-terangan militer menggeser
Soekarno tentu dampak ditubuh militer terpecah dan dapat berujung pada konflik
sesama saudara hingga rakyat dibuat bingung. Hal tersebut ditakutkan Nasution
dan Soeharto dengan menjadikan Soekarno bumper untuk melawan buruknya ekonomi
kehidupan dan ketidakpuasan rakyat. Kemudian oleh sebab itu memanfaatkan
sebagai tempat bersembunyi dari tuntutan tanggung jawab keadaan buruk ekonomi
hingga standar hidup yang kian merosot.
Disaat
Bung Karno memimpin Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan, masuk ke ruang
sidang Komandan Resimen Cakrabirawa yakni Brigadir Jenderal M.Sabur untuk
memberitahukan kekhawatiran terhadap ada sejumlah pasukan yang tidak dikenal
kepada Pangdam V/Jaya Brigadir Jenderal Amir Machmud yang tak kunjung keluar
sehingga lewat nota informasi tersebut disampaikan langsung kepada Presiden.
Setelah Bung Karno ketahui, sidang diserahkan kepada Waperdam II Leimena
kemudian Bung Karno bergegas menuju Istana Bogor ditemani Soebandrio dengan
helikopter.
Di
Istana terjadi pertemuan Bung Karno dengan Brigadir Jenderal M.Jusuf, Brigadir
Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal Amir Machmud atas utusan Soeharto
yang sakit sehingga tidak dapat hadir dalam sidang kabinet serta satu-satunya
menteri yang berhalangan hadir. Akhir atas pertemuan tersebut menjadi
konsekuensi politis atas ditandatanganinya surat perintah 11 maret 1966 atau
lebih dikenal dengan Supersemar oleh Bung Karno yang menugaskan Letnan Jenderal
Soeharto agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi maksud
terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan
jalannya revolusi.
Selanjutnya
berubah dengan drastis iklim politik Indonesia dan terhadap situasi dalam
negeri dan nyaris dapat melakukan apa saja. Bagi militer pimpinan Jenderal
Soeharto dampak dari Supersemar menjadi berwenang membubarkan PKI lalu
menangkap menteri-menteri, keanggotaan MPRS direkayasa, TAP MPRS menetapkan
Supersemar sebagai ketetapan, mencabut status presiden seumur hidup bagi Bung
Karno dan menolak pidato Nawaksara oleh MPRS yang telah diatur dengan hasil
akhir pemberhentian sebagai presiden kepada Soekarno dan berdampak peralihan
Orde lama ke Orde baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto.
Dampak
yang luas dari Supersemar ialah dari kebijakan luar negeri maupun dalam negeri
dimana orientasi politik luar negeri arahnya berbelok, Amerika menjadi kawan
pemerintahan pasca lengsernya Bung Karno yang sebelumnya menjadi musuh, membina
persahabatan dengan berbagai negara Kapitalis, dihentikan konfrontasi dengan
Malaysia , kembalinya menjadi anggota PBB dan besarnya hutang disaat rezim Orde
lama jatuh. Politik Indonesia berbalik arah dari yang dahulu sipil menjadi
militer, dari haluan kiri menjadi ke kanan, dari kerakyatan menjadi ke elit
politik, dari anti Nekolim menjadi pro ke pihak asing. Implikasi atas legitimasi
Supersemar sungguh super, dengan kata lain telah menghantarkan Garuda yang
dahulu melihat ke kiri telah beralih dan memilih untuk melihat ke kanan.