Jejak Ulama Membangun Indonesia


Data buku

Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim dalam Sejarah  Indonesia
Jajat Burhanudin
Mizan, Juni 2012
xii+ 482 hlm.

ULAMA memiliki peran penting dalam sejarah Islam Indonesia. Bermula dari pesantren dan madrasah, ulama kemudian tampil sebagai satu kekuatan sosial-politik yang ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Suatu peran strategis seperti yang pernah diembannya saat menjadi elite kerajaan di Nusantara prakolonial, ulama menjadi rujukan penguasa terkait kebijakan negara.

Peran penting ulama dapat ditelusuri pada pola islamisasi di Nusantara, yang berlangsung dengan perkembangannya di bidang ekonomi dan pembentukan kerajaan-kerajaan Islam. Beberapa wilayah di Nusantara menjadi pusat-pusat perdagangan. Umat muslim internasional, yang menjadi eksponen penting di sepanjang jalur perdagangan, datang dan membangun komunitas di wilayah-wilayah pantai. Melalui komunitas ini Islam diperkenalkan kepada masyarakat lokal.

Proses ini menemukan momentumnya ketika pusat-pusat perdagangan berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Islam. Dalam perkembangan tersebut, Islam menjadi bagian penting dalam pembentukan kerajaan. Ulama, dengan pengetahuan Islam mereka, memegang berbagai jabatan penting dalam kerajaan Islam. Selain sebagai "kelas menengah" ekonomi (orang kaya) ulama menjadi kelas "orang kota terhormat" yang berkontribusi besar dalam Islamisasi kerajaan, dan pada gilirannya penduduk lokal di Nusantara (hlm. 17).

Melokalkan Islam

Sebagian ulama yang tidak menempati jabatan di kerajaan lebih memilih untuk menyebarkan agama Islam ke masyarakat-masyarakat desa secara langsung. Para ulama mendirikan pesantren (Jawa), surau (Sumatera Barat), dan dayah (Aceh) yang terdiri dari sebuah masjid, sebuah rumah untuk keluarganya, dan sebuah asrama bagi para santri (murid). Di pesantren tersebut, ulama mengajarkan Islam kepada para santri seputar pelajaran yang berkaitan dengan praktek-praktek ritual, bahasa Arab, teologi, dan sufisme (hlm. 85).

Di pesantren, ulama bertindak sebagai pemimpin utama yang menentukan hampir semua aspek kehidupan. Dan para santri hampir secara total mengikuti ulama. Dengan demikian, melalui pesanten inilah otoritas ulama dibangun, yang membuat memperoleh posisi kuat sebagai pemimpin masyarakat bagi kaum muslim di perdesaan.

Munculnya nama-nama ulama seperti Khalil Bangkalan (1819-1925) dan Sholeh Darat (1920-1903) menjadi semacam angin segar di dunia pesantren. Mereka memainkan peranan yang sangat signifikan dalam pembentukan komunitas santri di Hindia Belanda. Khalil Bangkalan memiliki kontribusi yang sangat besar dalam memperkuat tradisi pengajaran pesantren, di mana metode dengan lisan (oral-auroral) dalam transmisi pengetahuan Islam menjadi ciri yang dominan.

Khalil lebih suka memperbanyak diskusi lisan dibandingkan dengan menulis kitab. Dia menjelaskan kitab-kitab tersebut dengan bahasa lokal masyarakat muslim (Jawa). Sedangkan Sholeh Darat juga sangat berkarakter dalam budaya Jawa. Hal ini tampak dalam karya-karya yang dia tulis. Selain memperkenalkan corak Islam berorientasi syariat, dia juga memperkenalkan corak Islam tersebut dalam bentuk penulisan kitab yang mudah dipahami masyarakat Jawa, dengan menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa (hal, 196). Islam menjadi entitas yang genuine yang mengakomodasi lokalitas.

Sejarah Indonesia memang tak pernah lepas dari peran ulama dalam membangun masyarakat Indonesia dalam segala bidang. Buku yang awalnya merupakan disertasi penulisya di Universitas Leiden, Belanda, ini mencoba menelusuri eksistensi ulama di Nusantara melalui analisis sejarah. Darat tidak hanya menjelaskan peran ulama dalam penyebaran agama dan akulturasi kebudayaan, tapi lebih menekankan pengaruh ulama dalam bidang sosial-politik, ulama sebagai agen kontrol sosial dan aktor politik. Sebuah karya analisis yang bersifat ensiklopedis yang mampu memberikan pemahaman lebih baik dan akurat tentang arkeologi Islam Indonesia kontemporer.

M. Al Mustafad, Peneliti di el Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Agustus 2012