Budaya Tak Kenal Batas Wilayah


TANJUNG PINANG (Lampost): Budaya sesungguhnya tidak mengenal tapal batas wilayah. Tapal batas wilayah adalah urusan politik. Karena itu, istilah "maling budaya" atau "curi-mencuri budaya" kini tidak relevan lagi dibicarakan.

Demikian salah satu butir rumusan Seminar Internasional Revitalisasi Budaya Melayu (RMB) III dan Seminar Tradisi Lisan VIII di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (24—27 Mei). Seminar menghasilkan 13 butir rumusan yang dibacakan Ketua Tim Perumus Bambang Kaswanti Purwo, Minggu (27-5).

Tapal batas tak mengenal wilayah yang paling nyata adalah realitas budaya Melayu. Ia tidak saja hidup di wilayah Indonesia, tetapi pula di Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand.

Diaspora budaya Melayu ini tidak dihalangi sekat negara. Riau dan Kepulauan Riau seperti juga Malaysia, merupakan salah satu contoh wilayah yang mendapat sumbangan budaya dari Bugis, Jawa, Parsi, India, dan Aceh. Dahulu nenek moyang Jawa yang menciptakan lakon Mahabarata dan Ramayana tidak dipersoalkan sebagai karya hasil “mencuri” budaya India.

Seminar yang digelar atas kerja sama Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Asosiasi Tradisi Lisan itu menghadirkan puluhan pembicara dari dalam dan luar negeri. Mereka merupakan pakar tradisi lisan, folklor, sejarah, bahasa, sastra, dan budaya.

Mereka yang lantang bersuara di forum seminar itu antara lain Taufik Taufik Abdullah, Mukhlis Paeni, Agus Aris Munandar, Ayu Sutarto (Indonesia). Dari mancanagera ialah Muhammad Haji Saleh, Haron Daud (Malaysia), Chua Soo Pong (Singapura), Dick van der Meij, Aone van Engelenhoven (Belanda), Francois Zacot (Prancis), Nik Abdul Rakib Bin Nik (Thailand).

Butir rumusan lain ialah menumbuhkan kreativitas dan imajinasi di kalangan muda dalam menggali tradisi warisan budaya yang begitu kaya di Nusantara agar bisa dinikmati masyarakat modern. Kalangan muda yang hanya meniru budaya asing (terutama musik), tanpa sama sekali meramu unsur lokal, adalah sikap budaya yang kurang memahami kekayaan kultural Nusantara. 

Karena itu, para pewaris aktif maupun pasif kebudayaan diminta untuk meniru semangat kreativitas nenek moyang kita dalam menggali tradisi sendiri maupun budaya asing.

Epos Mahabarata dan Ramayana yang diambil dari India dan diolah dengan sangat kreatif oleh para pejuangga lama kita adalah contoh kreativitas terbaik. Sehingga, menurut seniman besar India Rabindranath Tagore, Ramayana dan Mahabharata Indonesia jauh lebih bagus dari aslinya.

Menghargai Perbedaan

Butir rumusan lain juga perlunya sikap menghargai perbedaan. Sebab, ini merupakan semangat menghidupkan tradisi lisan Indonesia menuju ke masa depan. "Setiap suku menyumbangkan nilai-nilai bagaimana hidup bersama dan sikap terbuka menerima perbedaan."

Memang dalam perjalanannya ratusan cerita lisan tumbuh dan menyebar di seluruh Nusantara. 

Seperti Cerita Panji dan Hikayat Hang Tuah yang menimbulkan saling klaim yang mana yang benar. Ini mesti disikapi dengan positif karena betapa mengakarnya cerita itu.

Tantangannya justru bagaimana kita dapat tetap menghidupkan cerita lisan itu dalam kehidupan masa kini, misalnya lewat dunia maya. Dunia maya justru harus dimanfaatkan untuk penyelamat cerita-cerita lama/warisan tradisi.

Butir rumusan juga menekankan salah satu syarat utama kelangsungan hidup tradisi lisan  ialah tetap adanya pewaris aktif kebudayaan (pencipta karya seni) dan pewaris pasif (penikmat karya seni).

Para pewaris kebudayaan inilah yang perlu terus mebekali dirinya dengan berbagai pengetahuan. Butir rumusan juga menyingung realitas menghadapai nilai-nilai budaya lokal yang dinilai sementara pihak bertentangan nilai-nilai agama. Ini perlu jalan keluar yang arif mengingat nilai-nilai budaya itu sudah lebih dahulu dihayati masyarakat jauh sebelum masuknya agama-agama besar ke Indonesia. (DJT/R-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 28 Mei 2012