Timbangan: Argumen di Balik Trilogi Pembaruan Islam


-- Mohamad Asrory Mulky

• Judul: Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia • Penulis: Budhy Munawar-Rachman • Penerbit: LSAF dan Paramadina • Cetakan: I, Juni 2010 • Tebal: ixv + 789 halaman • ISBN: 978-979-95611-7-6

SEJAK Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang pengharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, ketiga ideologi itu menjadi istilah yang kian populer. Trilogi itu seakan menjelma seperti makhluk yang menakutkan, karena itu keberadaannya mesti diwaspadai. Bagaimana argumen Islam terhadap hal ini?

Di Indonesia, ide-ide demokrasi seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme kerap mendapat penolakan keras dari sebagian kalangan. Puncaknya adalah ketika pada 29 Juli 2005 Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat definisi mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Istilah ini dikeluarkan dalam Keputusan Fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005. Berdasarkan definisi yang dibuat lembaga ini, MUI membuat ketentuan hukum haram terhadap sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, yaitu bahwa ”Pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama… adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti, haram mencampuradukkan akidah dan ibadah Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain” (halaman 7).

Pasca-keluarnya fatwa haram MUI, diskursus mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme justru banyak diperbincangkan, tidak saja oleh akademisi, tetapi juga kalangan umum. Pada waktu yang bersamaan muncul gerakan-gerakan pemikiran yang menopang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Islam progresif. Kesepuluh lembaga tersebut diulas dalam buku ini.

Namun, bagi Budhy Munawar-Rachman, penulis buku Reorientasi Pembaruan Islam ini, sekularisme, liberalisme, dan pluralisme secara substansial merupakan bagian integral dari spirit Islam yang sesungguhnya. Aplikasi ketiganya, dalam konteks Indonesia yang majemuk, merupakan keharusan demi terwujudnya masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis.

Berbicara mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, tidaklah mungkin memisahkan satu dengan lainnya, mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain. Ketiganya sangat berkait berkelindan, terutama dalam merespons isu-isu kebebasan beragama yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, khususnya Majelis Ulama Indonesia.

Meluruskan pandangan

Buku ini diterbitkan dalam rangka merayakan 40 tahun orasi pembaruan Islam Nurcholish Madjid (Cak Nur) di Indonesia, 3 Januari 1970-2010. Perjuangan Cak Nur selama itu, terutama dalam menyebarkan paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, tidaklah sia-sia. Pasalnya, trilogi pembaruan ini telah memberikan dampak positif bagi terwujudnya kerukunan beragama di Indonesia hingga kini, meskipun terkadang kekerasan atas nama agama masih saja terjadi.

Kehadirannya juga dimaksudkan untuk meluruskan pandangan negatif terhadap sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Secara konseptual, sekularisme adalah paham tentang pemisahan antara agama dan negara. Namun, bukan berarti dalam negara yang menerapkan sekularisme, keberadaan agama disingkirkan dari wilayah publiknya. Justru dengan paham ini, setiap umat beragama dapat mengembangkan dan menjalankan kehidupan keagamaannya tanpa harus diintervensi negara.

Tidak bisa dibayangkan jika dalam sebuah negara yang multi-agama seperti Indonesia, pemerintahnya hanya memilih satu keyakinan sebagai agama resmi. Maka yang akan terjadi adalah diskriminasi, eksploitasi, dan bahkan konflik horizontal atas nama agama bermunculan di mana-mana.

Sekularisme memberi batasan jelas antara otoritas agama dan negara. Idealnya, negara hanya mengontrol praktik-praktik keagamaan dengan kriteria hukum yang berlaku. Negara tidak bisa melarang umat beragama untuk menjalankan peribadatannya dan menganut kepercayaan yang diyakininya. Sekularisme membantu menciptakan keseimbangan antara agama dan negara. Masing-masing akan memberi kontribusi dalam membangun bangsa yang adil, terbuka, dan demokratis.

Paham ini harus diikuti liberalisme, yang bertolak dari pandangan tentang kebebasan. Namun, perlu dicatat, kebebasan bukan berarti bebas tanpa batas seperti yang diasumsikan banyak pihak selama ini. Yang dimaksud dengan liberalisme adalah kebebasan hak-hak sipil yang harus diperhatikan oleh negara, seperti kebebasan berpikir, berpendapat, beragama, dan berkeyakinan. Demokrasi yang menjunjung nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan keterbukaan akan memperoleh momentumnya dalam negara yang menganut liberalisme. Dalam liberalisme, setiap jiwa diberikan kebebasan tanpa kecuali.

Islam, sebagai agama yang banyak dianut warga Indonesia, juga memberikan prinsip-prinsip yang sama, yaitu dengan apa yang disebut sebagai al-kulliyat al-khamsah (lima hal pokok dalam Islam). Kelima hal tersebut adalah menjaga agama (hifzh al-din), menjaga nalar (hifzh al-‘aql), menjaga keturunan (hifzh an-nasl), menjaga harta (hifzh al-mal), dan menjaga kehormatan (hifzh al-‘irdl). Kemunculan Islam pun sejak awal membawa misi liberasi (pembebasan) dari penindasan, tirani, dan ragam bentuk ketidakadilan. Semangat inilah yang mestinya harus terus dikobarkan.

Rasanya tidak cukup membicarakan sekularisme dan liberalisme tanpa melibatkan pluralisme. Ketiganya bagai anggota tubuh manusia yang saling membutuhkan dan melengkapi satu dengan lainnya. Pluralisme adalah paham yang mengakui kemajemukan dan keragaman realitas, bukan kesamaan. Yang ditekankan dalam paham ini adalah perbedaan, meski bukan berarti dalam setiap perbedaan tidak ada kemungkinan kesamaan. Kesamaan dalam perbedaan bisa dicapai jika dibarengi sikap saling memahami dan membuka diri.

Dalam konteks Indonesia, keragaman atau pluralitas sudah menjadi kenyataan hidup yang tak terbantahkan, bahkan sudah menjadi keharusan perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Ini merupakan sunatullah yang tak mungkin dihindari. Pluralitas dalam sebuah bangsa berpotensi menimbulkan perpecahan dan konflik. Karena itu, untuk menghindarinya diperlukan pluralisme. Paham ini memungkinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat yang berbeda sehingga setiap orang akan mendapat kebebasan yang sama, adil, dan setara.

Sayangnya, buku ini tidak memuat pandangan dari Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan (Kapal Perempuan) dan Fatayat NU yang juga ikut berkontribusi dalam penyebaran sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Tidak disertakannya kedua lembaga tersebut dikhawatirkan akan memunculkan penilaian yang bias jender terhadap buku ini. Meski demikian, buku ini telah berhasil meyakinkan bahwa sekularisme, liberalisme, dan pluralisme telah menjadi kenyataan sosial politik di Indonesia yang plural dan majemuk.

Mohamad Asrori Mulky, Penikmat Buku

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010